Situs Jejaring Sosial: Tong Sampah Keluh Kesah

oleh Raymon Tulus Yohannes

Hal apa yang paling menyebalkan ketika sedang menjelajah situs jejaring sosial? Bagi saya adalah ketika mendapati isinya penuh dengan ratapan atau maki-makian dari teman atau orang yang saya follow. Padahal kemarahan atau ratapan itu tidak ditujukan pada saya, tapi serta merta saya menggeser layar ke bawah lalu mengabaikannya. Bukannya saya tidak setia kawan namun saya rasa akan ada konsekuensi sendiri nanti bila saya ikut campur terlalu banyak dalam urusan yang seharusnya diselesaikan sendiri oleh teman-teman virtual saya itu. 

Ada seorang teman yang pernah mengatakan bahwa situs jejaring sosial dibuat untuk memenuhi rasa keingintahuan kita yang besar. Dia mengucapkannya dengan penekanan pada kata keingintahuan sambil mendempetkan jari telunjuk dan jari tengah kedua tangannya, seolah membentuk tanda kutip. Saya sadar, internet sebagai media berbasis jaringan yang penyampaiannya dari banyak orang ke banyak orang, sudah menjadi bagian penting dalam memuaskan rasa keingintahuan manusia. Macam-macam keingintahuan. Ingin tahu tentang keadaan di negara-negara yang sulit untuk dikunjungi secara langsung, ingin tahu keadaan di luar angkasa, sampai ingin tahu apa yang terjadi di tanggal-tanggal silam. Semua pengetahuan tersebut kini tinggal sejauh ujung jari mengklik.

Bukan keingintahuan seperti itu yang teman saya maksud. Menurutnya, kemunculan jejaring sosial memicu pelebaran lingkup rasa ingin tahu. Objek keingintahuan itu bukan lagi cuma pengetahuan dasar atau fakta-fakta yang jauh. Kini yang jadi sumber beritanya justru teman-teman atau orang-orang yang dekat dengan kita. Baik yang dekat secara fisik dalam artian kita pernah atau sedang menjalin kontak ataupun dekat dalam hal ide, yang gagasannya, preferensinya kita kagumi. Yang masuk kategori pertama adalah teman, keluarga ataupun kolega sedangkan kategori kedua adalah idola.

Lewat situs jejaring sosial, kita berada dalam posisi tahu tentang apa-apa yang sedang dialami oleh orang-orang terdekat kita. Kita tahu ia sedang dimana, tahu ia habis makan apa, tahu apa yang sedang menjadi permasalahannya. Konsep dasarnya adalah memicu manusia sebagai makhluk sosial untuk berbagi. Seperti layaknya membicarakan masalah remeh temeh dengan teman. Bukankah justru dari pembicaraan-pembicaraan ringan seputar hiduplah ikatan pertemanan menjadi semakin kuat. Dari hal-hal seperti itulah lama-lama terbangun rasa saling percaya dan saling membutuhkan.

Apa jadinya kalau manusia yang membuat dan memanfaatkan teknologi ini pelan-pelan justru dikuasai balik oleh ciptaannya. Neil Postman, seorang tokoh pendidikan humanis yang amat kritis dengan teknologi menyebut hal semacam ini sebagai faustian bargain. Faust adalah karakter dalam legenda klasik Jerman yang tidak puas dengan hidupnya sendiri. Karena itu ia meminta bantuan Mephistopheles, wakil setan untuk mengabulkan keinginannya. Dalam kesepakatan itu, keinginan Faust akan terpenuhi tapi setelah itu Faust harus memberikan jiwanya kepada setan. Postman memberikan ilustrasi seperti ini sebagai peringatan bahwa keterperangahan kita dengan teknologi serta keinginan kita yang terus menerus haus akan kebaruan akan membawa konsekuensi-konsekuensi baru juga.

Orang-orang yang meratap dan memaki dalam situs jejaring sosial seperti yang saya singgung di awal tulisan adalah salah satu konsekuensi baru yang terjadi. Hal seperti ini bahkan akan semakin sering kita jumpai. Di zaman sebelum ditemukannya situs jejaring sosial, orang-orang menggunakan media seperti buku catatan pribadi atau diary guna melampiaskan segala keluh kesah diri. Saat itu rahasia ya rahasia, sifatnya sangat privat. Bahkan saya ingat buku catatan pribadi kakak saya dilengkapi gembok biar semakin aman. Keuntungan media seperti ini begitu diary ditutup, rahasia berhenti di pikiran masing-masing pribadi. Misalnya saya kesal, saya tetap bisa saja menunjukkan wajah yang cerah ceria seolah tidak ada terjadi apa-apa.

Jejaring sosial membawa perubahan tindakan. Orang-orang yang hidup di era internet meninggalkan buku catatan pribadi dan beralih pada situs jejaring sosial. Segala keluh kesah diumbar di sana. Ada dua faedah yang mereka peroleh. Pertama secara psikologis mereka bisa memperoleh kelegaan karena mampu mengkomunikasikan beban mereka, layaknya terapi self-healing. Mengakui adanya masalah adalah satu langkah menuju penyelesaian masalah. Kedua, karena sifat internet adalah transmisi pesan banyak orang ke banyak orang, pribadi yang mengeluarkan keluh kesah lewat internet mengundang publisitas diri. Dalam dirinya pasti juga terkandung harapan agar teman-teman virtualnya mengetahui masalahnya itu dan jika memungkinkan memberikan dukungan atau solusi. Bisa juga berperan sebagai pernyataan tidak langsung kepada orang yang bertanggung jawab atas keadaan atau rasa yang dialaminya. Semoga orang itu melihat dan membacanya. Sayangnya seringkali orang seperti ini lupa bahwa ada orang-orang lain yang tidak punya kaitan, bisa ikut tahu keluh kesah mereka. 

Silent majority yang ikut menyimak laju emosi teman-teman virtualnya dari hari ke hari. Tidak salah bila dikatakan jejaring sosial pada eksesnya menciptakan simbiosis antara pribadi narsistik dengan pribadi kepo (ingin tahu urusan orang lain). Potensi masalah belum akan menjadi nyata ketika silent majority tetap diam. Tapi bila ada pihak-pihak yang tidak diharapkan komentarnya turut berkomentar tentu hal itu sudah mulai mengganggu.

Gangguan yang lebih besar juga bisa datang dari kesalahpahaman atas konteks twit atau status Facebook yang dibagikan, mengingat situs jejaring sosial kebanyakan berbasis teks. Teks, berbeda dengan ucapan verbal, tidak memiliki intonasi. Hal tersebut menimbulkan duga-dugaan dari para penyimak, dalam nada seperti apa ungkapan tersebut dikeluarkan. Apakah dalam nada datar sebagai pernyataan, apakah dalam nada humor sebagai guyonan atau justru dalam nada meninggi sebagai bentuk sindiran. Salah menafsirkan bisa berakibat fatal.

Ada satu kejadian di kampus saya dimana kesalahpahaman di dunia maya berimbas pada runyamnya hubungan di dunia nyata. Seorang mahasiswa, anggap saja namanya Riko. merasa jenuh karena materi yang dibawakan dosennya agak melenceng dari bahasan yang seharusnya diajarkan. Materi yang seharusnya diberikan oleh si dosen adalah tentang ekonomi tapi entah kenapa berbeloh ke persoalan iman dan takwa. Riko melampiaskan kebosanannya ini di Twitter. Teman-temannya sekelasnya yang sedang dalam kelas yang sama ikut menimpali twit Riko itu. Ada yang memanas-manasi, ada yang bijak dan menengahi. Seharusnya urusan dunia maya berhenti sampai dunia maya saja, tapi tiba-tiba twitnya itu tersebut terdeteksi oleh senior Riko. Seniornya ini adalah mahasiswa bimbingan skripsi dosen yang sedang mengajar Riko itu. Ia meneruskan twit Riko ke akun twitter dosen yang bersangkutan. 

Lama sesudah kelas itu berakhir si dosen baru mulai merasa kesal. Sebagai tenaga pendidik, ia kesal kenapa pada jam mata kuliahnya, ada mahasiswa yang malah asyik berbalas twit. Isi twitnya membicarakan dirinya di belakang pula. Dosen ini balik mengeluarkan kekesalannya di akun pribadinya. Urusannya jadi panjang. Linimasa Riko dipenuhi oleh twit-twit tajam dari alumni dan mahasiswa senior perihal tindakannya yang dianggap kurang ajar. Riko bersama teman-teman sekelasnya tadi yang ikut nimbrung lalu dipanggil menghadap Pembantu Dekan urusan Kemahasiswaan. Mereka semua kena sanksi akademis. Semua berawal dari twit pelampiasan kejenuhan di dalam kelas.
          
Saya tidak mau menghakimi siapa yang salah dan yang benar dalam kejadian di atas. Semua pihak punya perspektifnya sendiri-sendiri. Riko beranggapan twitnya sebagai bentuk ekspresi pribadinya. Toh, pasti ia bukan mahasiswa pertama yang beropini tentang dosen. Pasti ada banyak mahasiswa lain yang pernah melakukannya juga. Senior Riko beranggapan penerusan twit Riko ke dosen yang bersangkutan sebagai bentuk kepedulian terhadap nama baik dosen yang sedang menjadi pembimbingnya. Si Dosen beranggapan tidak patut seorang mahasiswa asyik menggunjingkan dirinya ketika ia justru sedang berjuang menyampaikan pengajaran agar mahasiswanya mengerti. Internet dan situs jejaring sosial sebagai satu bentuk media baru membutuhkan kecermatan bertindak dari para pemakainya mengingat pesan mengalir tanpa gatekeeping dan dapat diterima seketika. Sehingga satu-satunya gatekeeping dan mungkin yang paling ampuh adalah etika dan self-sensorship dari para pemakainya.

***Penulis adalah mahasiswa Universitas Padjadjaran

4 komentar:

Arief Rosadi mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Arief Rosadi mengatakan...

Tulisan yang sangat brilliant

Penulis dengan cerdas menggambarkan dan menjelaskan fenomena jejaring sosial pada kontemporer ini. Melalui tulisan di atas, para pembaca dapat mengetahui serta memahami dampak yang ditimbulkan dari perkembangan teknologi yang awalnya hanya berjadi pada tataran dunia maya berdampak pada kehidupan nyata.

Salah satu kalimat yang saya sukai dari tulisan di atas adalah "Teks, berbeda dengan ucapan verbal, tidak memiliki intonasi", karena perbedaan inilah maka acap kali terjadi multi-interpretasi terhadap suatu penggalan text yang akhirnya acap kali memunculkan multi-makna, yang berakhir pada mis-interpretasi.

keep writing mon ;)

Arief Rosadi.
Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UNPAD, Angkatan 2007

Anonim mengatakan...

tulisanmu selalu bagus Mon. Setiap kalimat yang dirangkai menjadi sebuah cerita seperti lagu yang berdendang, renyah untuk dinikmati mata ini.

Nelly Siswaty Sembiring mengatakan...

Saya sependapat dengan tulisan ini. Seperti yang sudah pernah saya dan penulis diskusikan jejaring sosial itu semacam panggung bagi masing-masing pengguna/penikmatnya. Namun demikian, tidak lantas dapat mencurahkan apa saja di jejaring sosial. Dan saya sangat sepakat mengenai gatekeeping (etika dan self-sensorship.

Tulisan yang menarik dan beraharap semua pengguna/penikmat jejaring sosial bisa membaca tulisan ini.
Good job Mon! *cheers*

Posting Komentar