Transformasi Jejaring Sosial ke Jejaring Perlawanan

oleh Jusman Dalle


Peran semerbak aroma secangkir kopi, teh atau susu yang beberapa waktu silam menjadi pembuka rutinitas dan menstimulasi mood kita untuk memulai aktifitas di pagi hari, kini telah diambil alih oleh seperangkat gadget yang menyediakan aplikasi jejaring sosial. Di zona baru, ketika dunia telah terkoneksi oleh kemajuan teknologi, ketika tembok-tembok dan jendela rumah kita runtuh dan disatukan oleh gelombang konvergensi, jaringan social media atau juga dikenal dengan nama new media (seperti Facebook, Blackberry Messanger, Blog dan Twitter) hadir sebagai kebutuhan baru.

Siapapun kita, baik pelajar, mahasiswa, pekerja, entrepreneur, eksekutif, menteri, bahkan Presiden Barrack Obama atau Hugo Chavez sekalipun, rasanya tak afdhal memulai hari jika belum menulis status baru di Facebook dan BBM, atau belum berkicau di Twitter. Tentang perasaan pagi ini, tentang harapan kita hari ini atau tentang cinta yang baru diputuskan semalam, semua ingin dibagikan kepada penduduk planet baru yang bernama jejaring sosial.
Pameo yang mengatakan bahwa dunia berada di dalam genggaman, kini terbukti sudah. Tak perlu beranjak dari tempat tidur atau tempat duduk, karena layar ponsel telah menjadi jendela raksasa yang menghantar kita berbagi informasi atau bahkan menelusuri sudut-sudut bumi di lima benua, melintasi lima samudera secara real time.

Konvergensi dan Lokalitas
Enam tahun silam, Thomas L. Friedman telah memprediksi hal ini di dalam bukunya yang berjudul The World is Flat: a Brief History of The Twenty First (2005).  Menurut kolumnis koran The New York Time tersebut, dunia masa depan tidak lagi “bulat”, akan tetapi berubah datar karena konvergensi.

Dikutip dari Wikipedia, konvergensi biasanya merujuk pada perkembangan teknologi komunikasi digital yang dimungkinkan dengan adanya konvergensi jaringan. Konvergensi jaringan adalah koeksistensi efisiensi dalam berkomunikasi dengan menggunakan beberapa perangkat atau jaringan tunggal yang menawarkan kenyamanan dan fleksibilitas. Dalam terminologi konvergensi media, hal ini tidak hanya dimaknai sekedar pergeseran teknologi atau proses teknologi, namun juga termasuk pergeseran dalam paradigma industri, budaya, dan sosial yang mendorong pencarian akan format baru dalam memaknai kehidupan dengan berbagai variabelnya. 

Konvergensi media terjadi dengan melihat bagaimana individu berinteraksi dengan orang lain pada tingkat sosial, dan menggunakan berbagai platform media untuk menciptakan pengalaman baru, bentuk-bentuk yang menghubungkan kita secara global di luar dikotomi produsen atau konsumen perubahan dan industri informasi. Dalam hal ini, perubahan (change) menjadi kata kunci wajah baru dunia yang serba digital.

Cara terbaik untuk merespons perubahan tentu bukan dengan menghindarinya, akan tetapi menyiapkan diri baik dari segi mental maupun sikap, sehingga kehadiran perubahan yang ditandai dengan zona konvergensi tersebut bisa bermanfaat secara positif.
Dikatakan oleh pakar manajemen modern Peter Drucker (2007), bahaya terbesar dalam turbulensi -yang menjadi penanda hadirnya perubahan- bukanlah turbulensi itu sendiri, melainkan cara berfikir kemarin yang masih digunakan untuk merespon masa sekarang. Secara lebih ekstrim, Albert Einstein (1879–1955) bahkan mengatakan bahwa mempertahankan cara-cara lama dalam menghadapi era baru dengan berharap hasil yang berbeda adalah sebentuk kegilaan.

Oleh karenanya, dalam konteks lokalitas, menghadapi era konvergensi ini maka sistem respons kita harus segera dinavigasi untuk menyesuaikan diri agar tak tergilas perubahan. Tidak lagi ada konservatisme, namun bukan berarti budaya dan identitas lokal kita tanggalkan dan secara latah menerima semua model yang tidak relevan dengan identitas kebangsaan. Akan tetapi, identitas lokal menjadi filter bagi proses seleksi berbagai tawaran yang mengarus dari luar. Semua bisa dikompromikan secara fleksibel.

Perubahan, Kontrol dan Aksi Sosial
Secara global, beberapa waktu terakhir, efek dari kehadiran jejaring sosial di era konvergensi telah menjernihkan nalar kita dalam menangkap pergerakan landscape perubahan sosial. Jika dahulu perubahan sosial selalau di bawah kendali elite, kini  civil society juga memegang peranan penting. Perubahan tidak lagi didominasi oleh hegemoni kekuasaan. Perubahan bukan lagi tercipta dari turbulensi antara dua kekuatan politik, militer atau ekonomi yang satu sama lain saling berebut pengaruh sebagaimana di abad-abad silam kita ‘saksikan’ melalu catatan para sejarawan.

Dengan perangkat digital, kini setiap orang di dunia memiliki kesempatan yang sama dalam menggerakkan dan mengarahkan perubahan. Revolusi yang terjadi di Timur Tengah (Tunisia, Mesir, Libya dan Suriah) sepuluh bulan terakhir, adalah gambaran nyata tentang konsekuensi positif yang dikonstruk dari kesadaran untuk memanfaatkan jejaring sosial menjadi jejaring perlawanan. Satu persatu pemerintahan dikatator tumbang di tangan rakyatnya sendiri. Propaganda melalui media sosial seperti yang dilakukan oleh Wael Ghonim, Bos Google di Mesir yang juga aktivis internet adalah bukti nyata. Oleh karenanya, adalah lumrah ketika para ahli perubahan sosial dan ahli politik bersepakat bahwa jejaring sosial menjadi variabel baru dalam proses politik yang lebih demokratis.

Kenyataan tersebut sejalan dengan keyakinan dua penganut teori konvergensi, Evans dan Sthepens (1988) yang telah meramalkan kecenderungan konvergensi. Oleh penganut teori konvergensi, modernisasi dan pembangunan dilihat telah bergerak secara positif untuk semakin memperbaiki dunia.

Determinasi terhadap teori perubahan sosial yang selama ini disempitkan dalam ruang dikotomi analisis tradisionalisme dan modernisme secara kasus per kasus, tidak lagi dilihat dengan pendekatan universalisme. Variabel perubahan seperti agama, budaya, kelas, gender, negara, gerakan sosial hingga perusahaan multi nasional (MNC) menjadi entitas baru dalam mere-design dunia menjadi ruang digital.

Perusahaan global yang berbasis new media dan commerce orinted seperti Google, Facebook, Twitter, Yahoo, Blogger dan sederet korporasi media sosial lainnya, menjadi korporasi perubahan yang mentransformasi gagasan dan informasi sampai pada tahap mengubah paradigma masyarakat dalam berinteraksi dan mendesakkan perubahan. Dunia internet yang selama ini dikatakan “maya” telah berevolusi menjadi dunia yang real di tangan jejaring sosial.

Empat abad yang lalu, ketika media masih konvensional, legenda perang fenomenal asal Prancis Napoleon Bonaparte (1769 1821), telah mengakui media memiliki kekuatan yang lebih hebat daripada serdadu militer. Napoleon berkata “aku lebih takut pada pena seorang jurnalis daripada bedil seribu orang musuh”. Dalam konteks kontemporer, ketakutan Napoleon tentu lebih besar, karena kini media menjadi milik semua orang di planet ini. Dimanapun kita berada (ketika ada jaringan internet) dengan memanfaatkan jejaring sosial, maka kita bisa berperan sebagai jurnalis untuk mewartakan kebenaran dan menyulut propaganda.

Oleh karenanya, pergeseran penggunaan kekuatan militer ke penggunaan teknologi informasi sebagai gerakan politik, pada akhirnya menjadi mainstream baru dalam mempengaruhi publik. Para ahli strategi menyebutnya perang asimetris (asymmetric warfare)

Perubahan media dengan hadirnya media sosial (new media), telah membentuk perilaku tersendiri dalam dunia politik. Fakta bahwa kesadaran pencitraan politikus semakin menguat seiring dengan perkembangan media kita bisa lihat dari berbagai fenomena politik. Kemenangan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama dua kali pemilihan presiden misalnya, tak dapat dinafikan berakar dari pengaruh besar media yang menjadi panggung terbuka bagi atraksi pencitraan. Maka wajar jika sukses SBY kemudian melahirkan budaya latah, diikuti oleh politisi lain di negeri ini. Semua memanfaatkan media untuk pencitraan, utamanya social media.

Silih Agung Wasesa di dalam Political Branding and Public Relation (2011) mengistilahkan gaya political branding ini dengan Buzzing. Yaitu pelaku-pelaku politik menjadikan pesan politik mereka sebagai bahan pembicaraan positif di masyarakat dan sekaligus menggerakkan target audiens dengan membangun kesadaran kepada mereka.

Namun cara ini ternyata tidak melulu berhasil, karena di satu sisi, pendidikan politik masyarakat, utamanya generasi muda terus mengalami trend positif. Oleh karenanya, pada titik ini social media yang awalnya dijadikan sebagai senjata pencitraan, justru berubah menjadi alat efektif untuk mengawasi pemerintah dalam kebijakan-kebijakan politiknya.


Facebook, BBM, Blog dan Twitter, dalam waktu relatif singkat menjadi ruang raksasa yang menampung segala macam saran, protes dan kritik hingga tuntutan revolusi dari masyarakat.  Social media bukan lagi sekedar jejaring sosial, tetapi bertransformasi menjadi jejaring untuk mengontrol pemerintah, bahkan menjadi jejaring perlawanan. 

***Penulis adalah Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar

0 komentar:

Posting Komentar