Ketika yang Muda Belajar Bertanggung jawab

oleh Puji Maharani

Pemuda dan media baru memiliki sebuah kesamaan: mereka sama-sama masih (berusia) muda. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan pemuda sebagai orang-orang yang berusia antara 15 hingga 24 tahun. Jika mengacu pada data World Health Organization tahun 2009, angka harapan hidup kita sebagai orang Indonesia rata-rata mencapai 68 tahun. Itu berarti, pemuda di Indonesia, yang lahir antara tahun 1986-1996, baru mencapai sekitar sepertiga umur mereka. Sementara itu, media baru, menurut Jan van Dijk, muncul pada 1980an. Bandingkan dengan surat kabar, yang pertama terbit dalam bahasa Jerman pada 1605; radio baru mengudara di Inggris pada 1897; atau bahkan televisi, yang baru eksis secara komersial pada akhir 1920an. Pemuda dan media baru bisa dikatakan lahir di generasi yang sama.

Menurut World Bank, pemuda memiliki sejumlah karakteristik, di antaranya “berada dalam proses pembelajaran”, “dalam banyak kasus, membuat keputusan untuk diri sendiri”, dan “fleksibel, berpikiran-terbuka dan cepat beradaptasi”.
Bagi pemuda di abad 21, proses pembelajaran yang mereka alami memiliki keistimewaan tersendiri dengan adanya berbagai alternatif kesempatan dan saluran untuk memeroleh informasi. Urs Gasser dan John Palfrey menyebut mereka “digital native atau warga pribumi dunia digital, yaitu “populasi orang-orang muda yang lahir setelah 1980, dengan akses pada teknologi, keterampilan yang diperlukan untuk menggunakan teknologi tersebut dalam cara-cara kreatif, dan budaya yang dibagi dalam bagaimana mereka berinteraksi dengan informasi, teknologi, dan satu sama lain.”
Sepuluh tahun lalu, pemuda belum dapat menjawab rasa ingin tahu mereka dengan bantuan Google. Sebagian besar informasi mereka peroleh dari media massa arus utama, dengan berbagai keterbatasan dalam mengaksesnya. Adanya media baru membuat keran-keran informasi terbuka dan mengalir deras, dengan potensi besar menyebabkan “kebanjiran” informasi; kondisi di mana informasi datang dari segala arah, tak terbendung, dan bisa jadi terlalu banyak untuk ditangani.
Saat saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar, guru PPKn saya rupanya sudah meramalkan hal semacam ini. Saya dan teman-teman sekelas senantiasa diingatkan bahwa era globalisasi semakin dekat, dan kami sebagai generasi penerus harus “memegang teguh Pancasila” dan menggunakannya untuk “menyaring arus globalisasi yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa” – apapun maksudnya itu, dengan bagaimanapun caranya. Yang saya ingat sampai sekarang, saat itu saya menganggap Pancasila sebagai panduan yang dipakai untuk menentukan pilihan. Dan meskipun telah diberi tahu apa yang harus saya jadikan pedoman dalam memilih, kala itu saya belum mampu “membuat keputusan untuk diri sendiri”. Namun kini saya memahami, bahwa akan tiba waktunya bagi saya untuk membuat pilihan-pilihan, dan untuk itu, saya membutuhkan kesadaran penuh akan konsekuensi yang harus ditanggung.
Di lain pihak, media baru kini berada dalam posisi yang unik. Kehadirannya berperan penting dalam proses pembelajaran pemuda. Sebagai saluran komunikasi dan sarana bertukar informasi, media baru menyediakan banyak hal yang bisa dipilih, untuk kemudian dinikmati dan disebarluaskan. Lewat YouTube, misalnya, pengguna internet dapat menayangkan diri mereka sendiri dan menyaksikan orang lain membuat program televisi mereka sendiri – mulai dari tutorial merias wajah hingga melucu di panggung stand up comedy, berbagi realitas yang sempat mereka saksikan dan rekam dalam kamera video, hingga mempromosikan karya kreatif mereka. Semuanya sesuai dengan jargon situs berbasis konten komunitas, yang juga dianggap sebagai medium komunikasi massa terbesar di dunia, ini, “broadcast yourself”. Dengan syarat dan ketentuan yang dimilikinya, YouTube dapat mengatur konten apa yang boleh dan tidak boleh diunggah, dan siapa yang boleh mengaksesnya dari segi batas usia. Tapi selanjutnya, terserah Anda sebagai pengguna untuk menentukan pilihan.
Sebagai sebuah teknologi yang bersifat netral, kegunaan media baru sepenuhnya tergantung pada keputusan-keputusan penggunanya, yang kemudian akan menentukan apakah media baru membawa dampak yang menguntungkan atau merugikan. Di tangan penggunanya, Facebook bisa menjadi medium untuk menjaga tali silaturahmi, mencari kenalan baru untuk kemudian bertemu muka (siapa tahu berjodoh), berjualan ponsel black market, hingga mengampanyekan gerakan sosial seperti Koin untuk Prita. Namun, akhir-akhir ini marak pula berbagai tindak kejahatan, seperti penipuan, pelecehan seksual hingga pembunuhan, yang ditengarai dilakukan dengan melibatkan Facebook. Keragaman cara memanfaatkan Facebook kemudian menuai berbagai respon, dari donasi untuk Prita Mulyasari hingga fatwa haram dari Majelis Ulama Indonesia.
“Berada dalam proses pembelajaran” menuntut pemuda untuk senantiasa tanggap akan situasi di sekelilingnya. Untuk itu, mereka haruslah menjadi individu yang “fleksibel, berpikiran-terbuka dan cepat beradaptasi”, sehingga kelak mampu “membuat keputusan untuk diri sendiri”. Belajar bertanggung jawab dalam menggunakan media baru pun menjadi tak terhindarkan pentingnya bagi generasi muda di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Pemuda yang belajar bertanggung jawab tidak hanya menempa diri mereka untuk mampu mengambil keputusan bagi diri sendiri, baik untuk hari ini maupun di hari depan; namun juga telah berinvestasi untuk masa depan diri sendiri dan masyarakat, termasuk negara mereka.
Saya percaya bahwa investasi tidak terbatas pada simpanan uang, properti, ataupun pasar modal. Investasi yang tak kalah penting adalah dalam bentuk sumber daya manusia yang berkualitas. Investasi semacam inilah yang membuat banyak beasiswa dan pelatihan keterampilan tersedia untuk berbagai lapisan masyarakat, termasuk pemuda. Bagi saya, sumber daya manusia yang berkualitas adalah sebaik-baiknya investasi yang bisa dimiliki sebuah bangsa untuk dapat membangun negaranya ke arah kemajuan, atau, mengutip istilah guru PPKn saya semasa SD, “mengisi kemerdekaan”.
Ada banyak aspek yang dapat dipertimbangkan untuk menentukan kualitas sumber daya manusia. Namun, saya percaya bahwa untuk mampu meningkatkan kualitas dirinya, seseorang perlu menjadi “fleksibel, berpikiran-terbuka dan cepat beradaptasi”. Jika karakteristik yang demikian telah mereka miliki, saya yakin bahwa tidaklah sulit bagi pemuda untuk mampu menyesuaikan diri dalam berbagai kondisi, menerima ide-ide baru, dan dapat menempatkan diri sebagai bagian dari masyarakat, untuk kemudian memberikan kontribusi yang positif dan berkelanjutan.
Saya percaya, bahwa salah satu tanda sumber daya manusia yang berkualitas adalah tanggung jawab. Ketika pemuda menggunakan media baru secara bertanggung jawab, masyarakat jaringan (network society) dengan perilaku serupa dapat tercipta, dan jika dipelihara, bertahan. Saat menggunakan media baru untuk bermasyarakat, pemuda memahami bahwa setiap “klik” akan membawa implikasi, dan mereka berperan serta dalam implikasi tersebut.
Pemahaman atas konsekuensi yang muncul dari cara mereka menggunakan media baru dapat memupuk pemuda menjadi lebih bijak dalam “mengambil keputusan untuk diri sendiri”. Dengan demikian, mereka akan tidak hanya berani mengambil resiko, namun juga siap sedia menanggung resiko. Berawal dari itu, mereka diharapkan juga mampu dengan bijak menciptakan lingkungan maya yang nyaman bagi masyarakatnya. Tidak mengunggah blog post berisi kebencian (hate speech) yang diarahkan pada kelompok masyarakat tertentu, atau video milik orang lain yang dimaksudkan sebagai koleksi pribadi, adalah beberapa contoh yang bisa dilakukan. Dengan memulainya saat ini, perilaku penggunaan media baru dengan bertanggung jawab menjadi sebentuk investasi dari pemuda saat ini untuk pemuda di masa datang. Mudah-mudahan, ini juga berarti kelak pengguna Twitter asal Indonesia dapat lebih cerdas dalam memilih dan mencuatkan ide-ide yang masuk Trending Topic Worldwide.
Tak seorangpun akan selamanya menjadi pemuda. Ada saat di mana seseorang berhenti mengalami proses pembelajaran formal, menjadi kurang fleksibel dan cepat beradaptasi, dan memiliki kesempatan untuk mengambil keputusan bagi diri sendiri secara penuh. Saya percaya bahwa kunci menghadapi masa tersebut adalah kemampuan untuk bertanggung jawab, dan lewat kesempatan yang dimiliki pemuda untuk belajar melakukannya hari ini, mereka mampu menghadapi hari depan.

***Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran 

55 komentar:

Anonim mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

dodi mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

mia mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO. 17

swarovskionline mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO.

Risya mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO. 17

Fauzi Shaffie mengatakan...

"#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17"

Unknown mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO. 17

Faisal Site mengatakan...

Great Essay, #big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO. 17

airzle mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO. 17

faris rachman-hussain mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

Lily Shu mengatakan...

"#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO. 17

Natur Yasinka mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO. 17

The Wonderland mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

Mahir Pradana mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

jatinangor mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

arzeyrellag mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

pipipipi mengatakan...

coooool puji #big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO. 17

Austin mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

hana nabila mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

nuraini mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

Zee mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO. 17

PeYe mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO. 17

Fitri Sungkar mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO. 17

Unknown mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO. 17

nita fitriani mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO. 17

Anakkosjkt mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

Nurul Pratiwi mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO. 17

indank_w mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

Billyard mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

blow mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

dee_dee mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

dalzi danil mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

Unknown mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

Ferga Aristama mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

Lutfi Fadil Lokman mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

Lady Mel mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

Acim bilang.. mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

くろねこ mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

tukang mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

Int'l Relations MUN Club mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

Script of Life mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

Adi Wibowo Octavianto mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

devinoviastuti mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

Evan mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

Emmie Ivory mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO. 17"

nina arina mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

Alisa mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

Enny mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

Alex P mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

Anonim mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

Anonim mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO. 17

Wildan Bagus aDITYA mengatakan...

Bagus Puji essainya... vote this

Masyhur mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

guess who? mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO. 17

AaLeo mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 17

Posting Komentar