Kalau diperhatikan kini semakin banyak pengguna internet di Indonesia yang berusia muda. Mereka masih dalam tahap mengenal internet. Belum terlalu kenal etika berperilaku di internet. Mereka juga tidak tahu bahaya yang menanti mereka di internet. Mereka dengan gampang mem-blast pesan melalui BBM, YM, Facebook, milis, tanpa mengkonfirmasi keaslian sumber berita. Hal-hal seperti ini yang juga dikhawatirkan para ibu dengan anak mereka. Si Ibu sendiri mungkin tidak terlalu paham akan dunia internet, apalagi bila si Ibu adalah seorang perempuan aktif yang bekerja pula, sehingga agak sulit mengawasi aktivitas si anak dengan internet.
Generasi muda ini memang punya semangat menggebu-gebu. Yang penting maju dulu, resiko itu nomor kedua. Mereka juga tidak melihat lagi perbedaan suku, ras, agama. Saat mereka terkoneksi di ranah daring, hal-hal seperti itu sudah tidak lagi penting. Mereka erat bersosialisasi. Saat ada isu tertentu, mereka spontan menyatakan pendapatnya. Ingat kasus Rana, seorang ABG di Twitter yang bilang kalau pengguna BlackBerry itu alay? Betapa cepatnya isu itu menjadi trending topic di Twitter, karena begitu banyaknya anak muda yang keberatan dengan hal itu, dan jumlah mereka sangat besar.
Di ranah daring, ada beberapa orang yang dianggap sebagai panutan. Mereka menjadi pemengaruh (influencer). Tidak jarang perkataan orang-orang ini diamini oleh netizen lainnya. Apa kata tulisan mereka di blog, pembacanya mudah setuju. Apa kata tweet mereka, para follower-nya mengiyakan dan melakukan ReTweet. Apa katanya di Kaskus, semua orang memberinya cendol.
Para pemengaruh ini dituntut memiliki tanggung jawab moral lebih, karena apapun perkataannya, sebagian besar orang akan mengikutinya. Tulisan atau perkataannya sudah menjadi “media†tersendiri. Para pemengaruh ini tentu saja punya “kekuatan†untuk menyetir opini. Hal ini yang sempat dikhawatikan HK dan tim tvOne. Contohnya, bagaimana seorang Susno Duadji yang sebelumnya dicemoohkan orang-orang kini malah didukung kesaksiannya di pengadilan. Ini satu contoh saja. Bukan tidak mungkin besok-besok ada seorang ugly marketer yang berhubungan dengan para pemengaruh ini untuk ikut menyetir opini negatif produk kompetitor di ranah daring.
Bayangkan saat para pemengaruh ini berucap opini, dan para netizen lainnya yang umumnya muda-muda dan baru kenal dengan internet langsung saja mengamininya, lalu menyebarkannya ke berbagai platform social media: Twitter, Facebook, Kaskus, blog, dll. Apalagi kecenderungan mereka yang mengikuti ini tidak pernah mengkonfirmasinya terlebih dahulu. Mereka cenderung untuk mengikuti kemana arus pembicaraan berlangsung, dan (bisa jadi) sekedar ikut-ikutan setuju saja dengan opini yang ramai bermunculan, tanpa punya alasan pribadi yang kuat.
Meski bukan tidak mungkin hal seperti ugly marketer itu terjadi, tapi di ranah daring itu selalu ada yang namanya kearifan khalayak (wisdom of crowd). Saat seseorang beropini dan ada fakta salah di baliknya, sesama netizen (yang jejak di ranah daringnya kurang lebih sama) akan mengingatkan. Semakin banyak orang yang mengingatkan, semakin jelas bahwa benar ada kesalahan dalam opini tersebut, dan si pemengaruh bisa segera merevisi perkataannya. Namun sebaliknya, saat kearifan khalayak mengamini apa kata si pemengaruh, sudah dipastikan opini pemengaruh itu pun akan bergulir dengan hebatnya di kalangan netizen lainnya.
Ranah daring Indonesia ini sudah berjalan dengan dinamis tanpa munculnya peraturan hukum. Kalau memang perlu ada peraturan terkait hal-hal ini, sebaiknya Pemerintah berfokus pada hal yang makro dan luas (yang fleksibel hingga 2-3 tahun mendatang meski teknologinya berganti). Peraturan yang justru membesarkan pasar di internet, apalagi kini semakin banyak transaksi daring terjadi di Indonesia. Bukan peraturan yang membuat netizen takut di-Prita-kan.
Kebebasan berekspresi internet dijamin oleh UUD1945. itulah yang tercantum pada Ketetapan Undang-undang yang disahkan oleh negara ini. Pasal 28 UUD 1945 menjelaskan bahwa:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
(Pasal 28F, UUD 1945 Indonesia, Amandemen ke-2)
Artinya setiap warga negara atau jika di dunia maya memiliki netizen mempunyai hak mengakses segala konten yang beredar dari segala jenis saluran informasi termasuk informasi dari internet. Netizen mempunyai hak untuk memilih mana informasi yang ingin dia dapatkan, berhak mentukan informasi apa yang mereka inginkan. Kebebasan berekspresi internet sepenuhnya menjadi milik netizen.
Kebebasan berekspresi internet yang sehat adalah tanggung jawab semua individu dan masyarakat bukan hanya pemerintah. Pemerintah bekerja dengan porsi dan kebijakannya, masyarakat ikut membantu men-sosialisasikan bagaimana menggunakan internet secara sehat dan bijak. Dari sisi pengguna, keluarga dan sekolah adalah penanam mind set yang utama kepada anak. Menanamkan sejak dini sebuah kesadaran akan kerugian dan efek negatif dari sebuah konten negatip akan membuat si anak akhirnya mempunyai kesadaran untuk menggunakan kebebasan berekspresi internet dengan positif dan sehat. Masyarakat dan pemerintah adalah satu kesatuan yang utuh, yang tidak akan bisa bergerak sendiri-sendiri untuk mencapai tujuan itu.
Pemerintah juga seharusnya memberikan apresiasi bahkan meniru apa yang sudah dilakukan oleh ictwatch.com dengan #Linimas(s)a nya. Linimas(s) sendiri merupakan dokumentasi tentang para netizen yang bisa memanfaatkan kebebasan berekspresi internet secara positif dan sehat. @Linimas(s)a juga mendokumentasikan bagaimana kebebasan berekspresi internet menjadi sebuah kekuatan sosial dalam menghadapi sebuah kekuatan politik yang sewenang-wenang dan tidak berpihak kepada masyarakat. Dalam video dokumentasi linimas(s)a diperlihatkan bagaimana jejaring sosial seperti facebook dan twitter dapat merubah kehidupan sosial seseorang. Ada juga dokumentasi bagaimana dengan jejaring sosial masyarakat bisa bersatu untuk melawan ketidakadilan baik secara online maupun offline.
Ada juga seorang tukang becak yang bernama harry van jogya yang melek teknologi dan internet. Beliau selalu up to date mengenai akses informasi yang sedang berlangsung. Beliau menggunakan facebook dan twitter untuk menjaring pelanggannya. Pelanggan yang ingin memakai jasanya bisa menggunakan facebook dan twitter untuk memesan. Dan jangan salah, selain wisatawan domestik beliau juga berkorespondensi dengan banyak turis yang sering memakai jasanya. Dengan kemampuannya berbahasa inggris dan belanda, mas harry mempromosikan jasanya dengan masyarakat luar negeri. Dengan facebook dan twitter juga beliau menceritakan tentang pariwisata indonesia khususnya jogja.
Selama ini jejaring sosial lebih banyak terekspose mengenai sisi negatifnya saja, sisi sebuah kebebasan berekspresi internet yang kebablasan. Penculikan anak yang baru dikenal lewat jejaring sosial, kejahatan terstruktur yang menggunakan jejaring sosial, bahkan penipuan. Dengan gerakan kebebasan berekspresi internet yang dilakukan oleh internet sehat ditunjukkan bahwa anggapan masyarakat tentang sebuah kebebasan itu gak selalu negatip. Pemerintah sudah mulai harus berpikir secara jernih dan bijak bahwa dengan membatasi kebebasan dengan cara yang keras danmengekang itu bukan sebuah solusi. Pemerintah harus mulai memikirkan untuk menggunakan cara yang bijak, membuat sebuah undang-undang yang tidak menjebak pemakai internet atau bahkan membatasi akses informasi. Bila memang ada kejahatan yang benar2 sebuah kejahatan di dunia internet, kami juga mendukung pemerintah untuk mengambil tindakan. Cybercrime yang harus dibasmi, tapi membatasi akses secara membabi buta juga bukan sebuah jalan keluar yang bijak.
Biarkan pengguna menjadi pengadil kepada dirinya, dengan melakukan hal yang baik dan buruk dengan segala konsekuensinya. Biarkan masyarakat pengguna internet menjadi dewasa dan bijak secara sadar bukan karena keterpaksaan, tekanan atau sembunyi-sembunyi. Kebebasan berekspresi internet yang sehat adalah kebebasan yang bertanggung jawab, bukan sebuah kebebasan berekspresi internet yang asal asalan dan ngawur dengan melepaskan segala tanggungjawab.
Pemerintah cukup menjadi keran dalam proses perkembangan media seperti ini. Terlalu besar resikonya jika pemerintah mengambil alih penuh lalu lintas di internet. Mungkin kita bisa saja belajar dari Cina yang benar-benar membatasi penggunaan di internet. Namun kita ini adalah negara demokrasi. Maukah kita mencederai prinsip demokrasi yang selama ini kita pegang?
***Penulis adalah mahasiswa Universitas Gajah Mada
0 komentar:
Posting Komentar