Netizen, New Media dan Gerakan Sosial Menolak Kebisuan

oleh Muhamad Ismaiel



Kerja jurnalistik, kadang menyimpan paradoks dalam dirinya. Sekalipun pandai menangkap realitas, kerja jurnalistik selalu saja tak kuasa menyembunyikan fakta. Lewat Wikileaks—sebuah lembaga layanan publik yang dirancang untuk membocorkan dokumen rahasia atau kawat diplomatik—kita dapat menemukan kondisi seperti itu. Setelah ribuan dokumen rahasia Amerika terkait dengan perang Afganistan dan Irak berhasil dibocorkan oleh Wikileaks, dunia tiba-tiba menjadi paham tentang duduk persoalan sebenarnya. Bahwa, betapa politik yang dijalankan Amerika begitu sangat kotor, jauh dari kejujuran. Sementara itu, banyak media arus utama tak pernah memberikan informasi yang lengkap dan benar. Sehingga masyarakat dunia selama ini hidup di tengah kebohongan cukup lama.  

Lain kasus Amerika, lain pula kasus Indonesia. Berdasarkan bocoran Wikileaks, dua koran Australia; The Sydney Morning Herald dan The Age menurunkan berita tentang penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang dilakukan Presiden Yudhoyono dan Ibu Any Yudhoyono.

Berita tersebut membuat kalangan istana marah besar. Juga membuat banyak media arus utama melakukan investigasi lebih lanjut. Sebagian orang lainnya mencoba menghidupkan gagasan melalui diskusi dan seminar-seminar. Saat itu, masyarakat semakin sadar tentang betapa kebohongan ada di mana-mana.

Kita hanya bisa menduga-duga. Bisa jadi persoalannya karena, media tak punya keinginan mengendus fakta sebab tak mampu menembus sumber berita yang cukup berat. Atau karena media memang berpihak pada kepentingan penguasa sehingga banyak fakta yang perlu disembunyikan dari khalayak.

Apapun alasannya, dari fakta yang masih tersembunyi itu, dinamika politik kita tak lagi tunduk kepada kepentingan demokrasi. Demokrasi yang di dalamnya memuat prinsip keterbukaan informasi, keselarasan dan partisipasi aktif setiap warga negara. Meminjam istilah sjahrir, demokrasi yang tidak dijunjung pada akhirnya akan menciptakan sebuah kekuatan feodalistik yang totaliter. Pemerintah menjadi sewenang-wenang dengan menciptakan realitas semu lewat pengkondisian informasi sedemikian rupa. Sehingga mekanisme demokrasi kita tidak berjalan semestinya. 

Dengan bocornya kawat diplomatik, bangsa ini seharusnya berterima kasih kepada Wikileaks dan Julian Assange; wartawan dan aktivis internet yang hingga saat ini konsisten  menyampaikan fakta sebenarnya yang tidak diungkap oleh media arus utama. Berkat kerja keras dia, kita terbangun dari tidur panjang kebohongan pemerintah.

Wikileaks memang bukan media arus utama. Ia lembaga layanan publik dengan dengan memanfaatkan internet sebagai media utama. Di samping itu, juga menerima berbagai informasi sensitif dari wartawan, aktivis dan para pembocor informasi (whistle-blower) untuk dikomunikasikan ke publik.

Orang-orang yang bekerja di dalamnya adalah mereka yang sangat aktif menggunakan internet yang dalam istilah Michael Hauben disebut sebagai netizen.[1] Istilah netizen dipakai Hauben untuk menjelaskan tentang orang-orang online yang sangat aktif menggunakan internet. Mereka sadar betul terhadap fungsi internet sebagai ruang publik yang memiliki kecepatan menyampaikan informasi kepada publik tanpa adanya demarkasi sosial dan identitas. Artinya, semua orang—dari rakyat biasa hingga elite politik, dari petani hingga pengusaha—dapat mengakses internet dan menikmati beragam informasi di dalamnya.       

Netizen adalah generasi manusia yang lahir di era digital. Sebuah era virtual yang relasi sosialnya mempertemukan manusia dan teknologi informasi. Kalau merujuk masyarakat Indonesia, netizen adalah mereka adalah anak muda yang lahir sekitar tahun 1980-an, yang hidup di tengah pesatnya media dan arus informasi.

Dalam diskursus sosial-budaya, masyarakat netizen memiliki cara pandang tersendiri dalam melihat dunia. Merujuk pada Alain Touraine,[2] putusan dan penilain dalam hidup selalu diambil berdasarkan efisiensi dan efektivitas sedemikian rupa untuk mencapai tujuan tertentu. Tidak ada nilai dan norma sosial yang stagnan, melainkan mengalami perubahan terus menerus menyesuaikan diri dengan ruang dan waktu. Pemahaman demikian terjadi karena adanya pengaruh kuat teknologi yang merepresentasikan rasionalitas dan kemampuan logika manusia dalam mengadopsi prinsip-prinsip pengetahuan ilmiah sains ke dalam teknologis. Teknologi dianggap mencerminkan kemampuan berfikir manusia sekaligus mengatasi keterbatasan fisik manusia.

New Media, New Force
Laiknya masyarakat lainnya, netizen membutuhkan tempat untuk menafsir dunia dan melakukan aktivitas sosial, politik dan budaya. Kehadiran net sangat membantu mereka untuk memaksimalkan kebebasan dan kreativitas mereka di dunia maya. Keberadaan net dan netizen memang tidak terpisahkan. Seperti facebook, twitter dan jejaring sosial lainnya.      Prinsipnya tetap sama; mereka mencari tempat yang dapat menghapus batas-batas sosial, menjamin kebebasan berfikir dan menjunjung tinggi kreativitas setiap orang.

Di dunia maya, mereka bebas melakukan apa saja untuk mendefinisikan keadaan berdasarkan desain dan kreativitas yang dibuatnya. Karena di dunia maya tidak ada yang bisa membatasi dan mengintervensi laiknya di dunia offline. Sekalipun terdapat “hukum” sosial dan nilai yang masih dipakai, hanya saja tidak seketat di dunia offline.

Facebook dan twitter, belakangan ini menjadi media baru yang dipakai kalangan netizen untuk beraktivitas. Di sana, mereka bebas mengkritik korupsi di jajaran pemerintah, ketidakjelasan anggaran, atau diskriminasi terhadap kelompok minoritas tertentu. Perilaku netizen seperti itu setidaknya menjadi kekuatan baru untuk berbuat lebih baik bagi bangsa ini. Dengan beragam persoalan di Indonesia, tak cukup hanya orang-orang tertentu saja yang berbicara tentang bangsa dan negara. Lewat facebook, seorang petani bisa berteriak lantang soal turunnya harga padi di pasar.  Kaum buruh mengkritik pemerintah soal kemiskinan yang semakin mencekik. Dalam dunia maya, tak ada kekuasaan tunggal karena setiap orang memilikinya.

Gerakan Sosial
Memastikan berjalannya demokrasi dan kesejahteraan, netizen memiliki kekuatan untuk mengintrol jalannya kekuasaan di negeri ini.  Negeri ini, sedang lesu oleh oleh kebenaran yang masih belum terkuak semuanya. Kalangan media masih terbebani oleh kepentingan dan kuasa perusahaan. Kalangan elit berbuat semaunya tanpa melihat kebutuhan rakyatnya sendiri.

Di negeri ini, hingga saat ini, cukup banyak peristiwa sebenarnya yang sepenuhnya tidak dimuat media. Seperti pemberitaan media yang bias gender, tidak sensitif pluralisme dan kebebasan beragama. Tidak peka pada nasib rakyat yang tanahnya dipaksa dijual dengan harga murah untuk proyek pembangunan jalan tol. Jamaah Ahmadiyah harus rela berpindah-tempat lantaran pemerintah tak pernah serius menjamin keselamatan jiwa mereka. Tragedi Cikeusik, Pandeglang salah satu buktinya. Terakhir, adalah kelaparan yang terus mengancam rakyat miskin yang jauh dari sejahtera. Sementara itu, perilaku korup pemerintah setiap hari semakin menjadi-jadi. Ironisnya, sikap politik macam itu mereka rawat hingga berbuah keserakahan.    

Banyak fakta yang seharusnya disuarakan tapi justru disembunyikan atau bahkan sengaja dipaksa bisu. Kalangan netizen perlu menangkap kondisi itu sebagai sebuah gerakan sosial di dunia maya. Mengingat sangat kuatnya pegaruh internet, persoalan kemiskinan, ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kelompok tertentu penting disuarakan lewat jejaring sosial facebook, twiter dan lainnya. Tentanya tidak saja menyuarakan tapi paling tidak membentuk gerakan kolektif untuk mempengaruhi suara publik. Artinya, masyarakat netizen membidani lahirnya sebuah gerakan kolektif untuk merespon berbagai persoalan bangsa ini dengan memanfaatkan new media.

Soalnya adalah bagaimana gerakan sosial itu mungkin di dunia maya?  

Dalam diskursus gerakan sosial, Alberto Mellucci[3] dengan tegas mengatakan bahwa gerakan sosial sangat mungkin terjadi di dunia virtual. Karena bagi Melucci, gerakan sosial tidak saja sebuah pengalaman dalam melakukan gerakan yang selalu merujuk pada konflik politik  bersifat kasat mata. Tapi, gerakan sosial saat ini perlu dilihat dari ruang kultural dan simbolik. Melucci dengan menggabungkan pandangan Mc Adam dan Mc Carthy, gerakan sosial di dunia maya dapat saja lahir dengan memperhatikan aspek kesempatan politik (political opportunity), mobilisasi sumber (resource mobilization) dan proses framing (framing process).[4]   

Kesempatan politik adalah kondisi lingkungan sosial yang dapat memuculkan gerakan sosial. Perubahan sosial dan politik dapat menjadi faktor munculnya gerakan sosial. Seperti saat kasus Cicak vs Buaya. Kesempatan politik yang terjadi adalah pemerintah yang semakin korup dan rakyat memang sedang muak dengan korupsi di jajaran kepolisian. Semanatara mobilisasi sumber merujuk pada kekuatan memobilisasi massa sehingga dapat menciptakan kekuatan kolektif untuk melakukan gerakan sosial. Dunia maya seperti jejaring sosial, menyediakan cukup banyak kekuatan untuk menghimpun massa karena sifatnya yang terbuka bagi publik. Dan yang terakhir adalah proses framing yang merupakan sejauh mana individu netizen tertarik untuk bergabung melakukan gerakan sosial untuk tujuan bersama. Perlu adanya nilai dan ide yang membangkitkan rasio dan hati individu netizen.

Pada akhirnya, mari kita bersuara dan bergerak untuk untuk berbuat lebih banyak pada bangsa ini. Saat kerja jurnalistik tak mampu menangkap semua persoalan, maka netizen perlu membuat pilihan untuk terus bergerak.   



[1] Michael Hauben, "The Net and Netizens: The Impact the Net Has on People's Lives", 1992.
[2] Alain Touraine, “The Voice and the Eye: An Analyis of Social Movement”, Cambrige, Cambrigde
University Press, 1981, hal 77-81.
[3] Alberto Melucci, “Nomads of the Present: Social Movements and Individual Needs in Contemporary Society”, London, Hutchchinson Radius, 1989, hal 29
[4] Mayer N. Zald, Culture, Ideology and Strategic Framing, dalam McAdam, et.al ibid, hal 266-268.

***Penulis adalah mahasiswa Universitas Paramadina

2 komentar:

Hidayat mengatakan...

kita memang dituntut cerdas, harus bisa memilah-milah berita mana yg layak utk dibaca, bukan malah membaca berita sampah. sy pernah mendapati media yg udah pnya nama memberitakan, kira2 diksinya begini: "Saipul jamil memenuhi permintaan mendiang istrinya membangun mushalla". kontenya itu loh g' penting bnget.

yg menjadi persoalan biasanya media tanpa disadari telah menyulut aksi2 kekerasan dan konflik. media ikut serta dalam memperluas konflik2, konflik yg sebelumnya hanya diketahui oleh org2 di TKP, melalui media, semua org bisa menonton konflik lanjutan. bagaimana sebenernya menanggapi hal ini? :)

Young Philosopher mengatakan...

menggugah

Posting Komentar