Agent of Change 2.0

oleh M. Misbahul Ulum


Manusia terlahir sebagai makhluk sosial. Oleh sebab itulah, komunikasi menjadi kebutuhan mutlak bagi mereka. Komunikasi mengukuhkan jati diri individu sekaligus sosial manusia. Peradaban mereka telah dibentuk oleh proses komunikasi panjang yang melibatkan perihal internal dan eksternal manusia.

Kini, seiring dengan perkembangan teknologi informasi, komunikasi antar persona tidak hanya terjadi sebatas tatap muka. Sekat- sekat pemisah telah dirobohkan. Salah satunya dengan bantuan media sosial. Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai, "sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0  dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content.”[i] Blog dan jejaring sosial (social network) ialah beberapa diantaranya.

Di Indonesia, jumlah pengguna media sosial hampir sejajar dengan pengguna internet. Merujuk data Internet World Stats pada desember 2010, Indonesia menempati ranking ke-4 pengguna internet terbanyak di Asia, yakni sebanyak 39.600.000 orang. Dan pada juni 2011, sebanyak 38.860.460 orang diantaranya merupakan pengguna media sosial bernama Facebook.[ii] Selain itu, pengguna Twitter di Indonesia menempati posisi keempat terbesar di dunia dengan jumlah 4,8 juta orang. Sedangkan untuk Blog, tercatat hingga Oktober 2010 sudah ada 3,2 juta blogger yang mem-posting lebih dari 4,1 juta blog.[iii] Berkaca dari data tersebut, bisa diasumsikan, bahwasanya –hampir—seluruh pengguna internet di Indonesia sekaligus merupakan pengguna media sosial.
                
Sementara, merujuk survei Russel Conrad, Regional Director South East Asia Effective Measure per Mei 2011, pengguna Internet dominan lain di Indonesia adalah dari kalangan usia 21 sampai 24. Disusul usia 35 sampai 40, kemudian usia 31 sampai 34 dan 15 sampai 20 tahun di posisi berikutnya.[iv] Dominasi pemuda dalam penggunaan internet bukannya tanpa alasan. Bila ditilik dari sejarahnya, kemunculan internet di Indonesia dimulai pada tahun 1990an. Oleh karena itu lah para pemuda saat ini biasa disebut generasi internet, yakni generasi yang dilahirkan pada dekade 80an dan sesudahnya.
                
Ibarat dua sisi uang logam, media sosial tentu memiliki sisi positif dan negatif. Salah satu diatara sisi negatifnya ialah efek candu, persis seperti narkotika. Sebagaimana media massa seperti televisi, media sosial juga mengakibatkan penggunanya kecanduan. Bila televisi hanya bisa dikonsumsi kenikmatan candunya di rumah, media sosial bahkan bisa dinikmati di mana pun dan kapan pun. Maklum, kini dengan berbekal ratusan ribu saja, telepon genggam yang menawarkan fasilitas internet sudah dapat diakantongi.
                
Namun, sisi positif yang ditawarkan oleh sosial media juga tak kalah menggiurkan. Salah satu diantaranya ialah gerakan sosial dan politik. Media sosial dengan mudah dapat memantik terjadinya gerakan-gerakan sosial dan politik di masyarakat. Gerakan Cicak versus Buaya, Sejuta Facebooker dukung Bibit-Chandra, dan Koin untuk Prita menjadi contohnya.
                
Boleh dikata, media sosial punya andil yang cukup besar dalam gerakan-gerakan tersebut. Namun, media tak ubahnya seperti benda mati bila tidak ada yang menjalankannya. Itu lah sebabnya, media sosial hanya bertindak sebagai pemantik saja. Sedang, aktor-aktornya tetap lah orang-orang yang menggunakannya.

Pemuda Sebagai Agent of Change 2.0
Konon, generasi muda disebut-sebut sebagai agent of change (agen perubahan). Generasi muda telah menorehkan tinta emasnya dalam lembar-lembar sejarah Indonesia. Mulai dari Kemerdekaan Indonesia hingga Reformasi 1998. Mereka dengan gigih mermperjuangkan suara-suara yang tak tersuarakan (voicing the voiceless).
                
Kombinasi yang apik antara media sosial dengan agen perubahan bisa menjadi modal berharga bagi Indonesia. Berbekal media sosial, setiap pemuda dapat terkoneksi dengan pemuda lainnya di seluruh penjuru Nusantara, dari Sabang sampai Merauke. Meskipun media sosial tak ubahnya candu bagi generasi muda sekarang, tetapi mereka masih berpeluang menggunakan media sosial sebagai alat pergerakan dan  mengawal isu-isu sosial serta politik. Dengan dan dalam media sosial, gagasan-gagasan dipertukarkan, perubahan demi perubahan dapat dilakukan. Asal prasyaratnya terpenuhi.
                
Prasyarat pertama ialah kultur baca tulis pemuda Indonesia yang mumpuni. Dari tahun ke tahun, kultur baca tulis masyarakat Indonesia kian memprihatinkan. Menurunnya kultur baca tulis masrakat Indonesia, terlebih pemuda sebagai generasi internet atau generation next harus diletakkan dalam konteks zamannya. Kultur baca tulis yang kian memudar di kalangan pemuda dapat dipahami sebagai akibat kontinuitas kemunculan media dengan tingkat graduasi kelebihan serta kemenarikan yang semakin tinggi. Mulai dari kemunculan koran hingga media baru (new media). Data penelitian Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2006 menyebutkan, bahwa masyarakat kita belum memprioritaskan membaca untuk mendapatkan informasi. Orang Indonesia lebih memilih menonton televisi (85,9 %) dan/atau mendengarkan radio (40,3%) ketimbang membaca koran (23,5%). Menurut Onno W. Purbo, salah satu orang yang berperan besar membawa internet ke Indonesia, kultur baca tulis masyarakat merupakan prasyarat utama dalam penggunaan teknologi internet.[v] Apalagi media sosial dengan teks-teks sebagai isi pesan utamanya. Oleh sebab itu lah, kultur baca tulis generasi muda Indonesia harus segera dibenahi.
                
Kedua, kecakapan pemuda dalam menggunakan media sosial. Pemuda yang cakap dalam bermedia menjadi sebuah keharusan. Kecakapan dalam literasi media, menurut Wisnu Martha Adiputra, terdiri dari tiga tingkatan, yakni tingkat awal, menengah, dan lanjut. Tingkat awal di dalam literasi media berupa pengenalan media, terutama tentang efek positif dan negatif media. Literasi media tingkat menengah bertujuan menumbuhkan kecakapan dalam memahami pesan. Sementara tingkat lanjut dalam literasi media melahirkan output kecakapan memahami media yang lengkap sampai produksi pesan, struktur pengetahuan terhadap media yang relatif lengkap, dan pemahaman kritis pada level aksi.[vi]
                
Pada tingkat awal, pemuda harus mengetahui efek negatif dan positif media sosial. Dengan begitu, efek candu yang menjadi salah satu dampak negatifnya bisa dihindari. Dalam tingkat menengah, pemuda diharapkan dapat memahami betul realitas serta isu dengan akal jernih. Pasalnya, seperti yang dikatakan Profesor Merlyna Lim dalam kuliah terbuka yang diadakan Youth Studies Centre (YouSure) (21/ 9), aksi-aksi solidaritas seperti gerakan Cicak versus Buaya, Sejuta Facebooker dukung Bibit-Chandra, dan Koin untuk Prita sebetulnya hanyalah reaksi spontan yang muncul karena dorongan kolektif dari lingkungan. Spontanitas pemuda itu lahir hanya jika ada isu-isu yang mengemuka dan biasanya bersifat temporer. Partisipasi dari pemuda pun biasanya hanya bersifat sinkretis dan ala kadarnya.[vii]
                
Bila kedua tingkatan tersebut sudah terpenuhi, dalam tingkat lanjut, pemuda baru bisa menjadi motor penggerak perubahan dengan alat media sosial. Dalam tingkat ini, pemuda sudah fasih memahami realitas di sekitarnya. Pemahaman tersebut kemudian diproduksi menjadi gagasan dan dipertukarkan melalui media sosial serta ditransformasikan menjadi sebuah pergerakan. Dengan begitu, pemuda sebagai agent of change tidak lagi harus terus-terusan berdemonstrasi dan berteriak-teriak di jalan dengan kucuran keringat dan kekuatan otot. Kini, sudah saatnya pemuda menjadi agent of change 2.0 dengan menggunakan akal jernih dan memanfaatkan media sosial untuk mengukir perubahan demi perubahan bagi kemajuan bangsa Indonesia.



[i] . Kaplan, Andreas M.; Michael Haenlein (2010) "Users of the world, unite! The challenges and opportunities of Social Media". Business Horizons 53(1): 59–68 (http://id.wikipedia.org/wiki/Media_sosial, diakses 7 Oktober 2011).
 [v] . Jurnal Balairung Edisi 38 XIX 2005. Hal 142-143


***Penulis adalah mahasiswa Universitas Gajah Mada


1 komentar:

Bintang Kirana mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 14

Posting Komentar