ETIKA PARA NETIZEN

oleh Lukman Hakim Husna


Ia duduk di sana beberapa saat sebelum peristiwa itu. Terpacak di depan kotak gelas berukuran empat belas inchi, di sebuah warung internet di seputaran kota Solo, ia terlihat gusar. Layar monitor di hadapannya menyuguhkan rerupa menu maya. Konon, sebelum detik yang telah ditentukan, ia sempat membuka beberapa alamat web. Diantaranya laman balapan motor dan –tentu saja– sebuah situs keagamaan tertentu yang diduga telah menyuguhkan suntikan-suntikan ideologis; sentimen yang membabi buta terhadap apa yang mereka sebut sebagai kafir.


Sontak saja, setelah kemudian terdengar kabar bahwa Hayat (sebutan orang itu, atau juga dikenal dengan Pino Damayanto) meledakkan dirinya di ambang Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton Solo (25/9), dan setelah media massa berhasil mengendus kronologi pra peledakan, orang ramai kembali memicingkan mata pada fenomena internet. Bahkan salah seorang petinggi Ormas keagamaan sempat mengkritik 
Menkominfo yang hanya sanggup memblokir situs-situs tak senonoh, sementara mengabaikan laman ekstrimis radikal. Dan celaka, seturut analisa dari pengamat terorisme yang juga seorang “mantan teroris”, gelombang terorisme kini bergerak secara sporadis setelah kehilangan sosok pemimpin. Siapa saja berpotensi menjadi bom waktu berjalan yang setiap saat bisa saja meledakkan tubuh kita. Sebab, lanjut sang pengamat, pasca absennya para pemimpin yang sebagian diantaranya mati atau tertangkap petugas, calon-calon “pengantin” itu memiliki “imam” yang baru berjuluk internet.


Kritik atau analisa seperti di atas tentu tidak semata-mata ngawur. Masih lekat di ingatan kita ketika Al-Qaeda, jaringan teroris yang sedang menjadi sorotan dunia, menerbitkan sebuah tulisan berisi panduan sederhana merakit bom di majalah Inspire. “Make a Bomb in the Kitchen of Your Mom” (membuat bom di dapur ibumu), judul artikel tersebut, bisa diunduh secara cuma-cuma di dunia maya. Anda tinggal googling, dan pada situs atau milis tertentu, Anda akan segera menemukannya.


Dus, kita berpikir, betapa gampangnya menjadi teroris. Atau jika Anda telah terkondisikan oleh pikiran-pikiran radikal sebelumnya, Anda akan membayangkan, alangkah mudahnya menuju surga (menjadi syahid). Cukup dengan beberapa “klik”, Anda pun berubah menjadi manusia yang berbeda. Kini Anda adalah satu dari sekian pasukan Tuhan. Selanjutnya, dengan membaca petunjuk pelaksanaan yang ditulis dengan bahasa padat nan sederhana, Anda merakit bom dan kemudian terpacu meledakkan diri sendiri. Anda, Syahid !


Syahid? Anda telah sampai di surga?


Jika pun betul, dan sebagai manusia yang beragama kita juga barangkali mesti percaya, siapa saja yang berjalan di atas aspal Tuhan tidak mungkin tidak mengarah ke surga, maka ajaran pembunuhan tanpa alasan hanya terlampir dalam kamus kaum radikal. Merekalah yang, dengan memanfaatkan kesucian agama, dan yang karena itu banyak orang jadi terbujuk (terutama kaum muda), membelokkan kesucian agama ke arah najis yang penuh darah.


Perdebatan menyoal esensi asli dari agama, apakah agama itu sejuk damai ataukah keras berapi-api ?, belumlah segera usai, memang. Tetapi hanya menanti agar polemik ini selesai dengan sendirinya, sama saja dengan menunggu kabar berapa lagi mayat yang akan tumbang. Kita hanya jadi penonton yang setiap waktu dihantui perasaan waswas “kapan giliran kita menjadi korban?”. Sementara di pojokan warung di sana, orang-orang yang mirip Nurdin M. Top sedang bersiteguh menyusun rencana dan membangun jaringan, sembari terus mengobarkan permusuhan, di tengah lalu lintas maya yang memang tidak berpolisi.


Pembunuhan ini mesti dihentikan !!!


Dalam kaitannya dengan produksi ideologi kekerasan melalui media internet, yang demikian marak akhir-akhir ini, sepertinya kita memang harus bersepakat dengan gagasan yang belakangan bergulir; pemerintah mesti proaktif mencegah, se-trengginas dan setegas saat mereka mengganyang situs-situs binal. Terorisme dan pornoisme, biarpun berhilir pada dua hal yang saling berkebalikan, yang satu berkedok jubah dan yang lain bertutup –maaf– beha, adalah sama-sama patologi bagi masyarakat kita dewasa ini. Dua-duanya sama destruktif, sama-sama “membunuh”.


Itulah sebabnya, afirmasi positif dari para pengguna internet menjadi mutlak diperlukan. Dibutuhkan semacam etika yang berlaku secara merata di kalangan para netizen. Melulu bergantung kepada kebijakan negara sebetulnya bukan jawaban yang elok, terutama di tengah krisis kepercayaan yang tengah menggejolak dewasa ini. Itu belum lagi jika kita mempertimbangkan betapa niat baik pemerintah yang acapkali dinilai sebagai represif, dengan misalnya memblokir (memaksa tutup) situs-situs berbahaya, yang konon malah mengobarkan pandemi. Mati satu, tumbuh seribu. Domain tertentu boleh disegel, tetapi tanah kapling di dunia maya hampir-hampir tak terbatas. Masih cukup banyak ruang, biarpun ruang itu cuma gorong-gorong, yang bisa dipakai lagi untuk menyemai benih-benih “kejahatan”.


Alhasil, etika bagi para netizen layak dikembangkan guna melahirkan pribadi-pribadi pengakses internet yang bertanggung jawab, yang memiliki itikad berbuat baik entah untuk dirinya sendiri maupun bagi pengguna internet lain. Warga dunia maya yang bercita etika tinggi inilah yang kelak tidak membutuhkan lagi polisi, atau apalagi represi yang digulirkan dari atas. 


Mereka mengerti apa yang harus mereka lakukan, dan apa yang mereka tuju, pada saat mereka berkelana di rimba maya di ruang-ruang yang paling privat sekalipun (di pojokan warnet yang bersekat atau di dalam kamar pribadi yang berkelambu). Mereka memiliki rasa tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, terhadap keluarganya, terhadap saudara-saudaranya, terhadap anak-anaknya, terhadap negaranya, terhadap masyarakatnya, dan terhadap Tuhannya. Mereka tidak mengakses situs porno, dan sebab itu tidak terbayang sama sekali di benaknya untuk memperkosa perawan yang sedang tersesat di sebuah angkot. Mereka juga enggan kelayapan di laman situs radikal, sehingga tak perlu gampang tersulut kemarahan dan atau apalagi memiliki sifat mudah meledak (bahkan dalam pengertiannya yang sangat harfiyah).


Sebaliknya, netizen yang beretika secara aktif menyeru kepada, mengutip jargon kelompok musik Slank, perdamaian (peace), cinta (love), persatuan dan kesatuan (unity), dan niatan baik (respect). Ia tidak menge-post materi-materi rendahan. Orientasinya membangun, bukan menghancurkan; menjaga, bukan merusak; bersahabat, bukan bermusuhan.


Demikianlah, para netizen menginternalisasi standar etika ke dalam dirinya secara individual. Jika betul mereka yang punya tanggung jawab ini kelak semakin bertambah seiring meningkatnya kedewasaan para pengguna internet, kita tinggal menunggu masa-masa seperti ketika mereka (para netizen yang sama) dulu menggalang kekuatan untuk meruntuhkan keangkuhan aparat dalam kasus kriminalisasi dua pimpinan KPK Bibit dan Candra, atau gerakan sosial mendukung pembebasan terdakwa pencemaran nama baik Prita Mulyasari (baca; gerakan koin untuk Prita).


Kehidupan internet memang, seperti halnya kehidupan di dunia ini, dibangun di atas dua kategori yang kerap terpetakan secara rigid; hitam dan putih, baik dan buruk, benar dan salah. Di kehidupan nyata orang yang berlaku menyimpang akan dengan segera terkena sanksi. Sekurang-kurangnya sanksi sosial, jika memang hukum tak bisa menyentuh. Tetapi pola yang sama tidak berlaku di dunia anonim laiknya dunia maya (internet). Kecuali etika netizen betul-betul terejawantah, sanksi-sanksi yang bukan saja berguna untuk menjerakan melainkan juga demi pencegahan itu mustahil hadir.


Hanya, satu hal telah menjadi jelas. Baik atau buruknya muka dunia maya berkait lekat dengan sejauh mana perilaku para penggunanya. Netizen yang beretika tidak mungkin menyalahgunakan internet untuk alasan apapun. Internet, memang, bisa menjadi ladang inspirasi bagi kejahatan jenis apapun. Meski kita juga perlu optimistis, hipotesis tersebut tidak berlaku bagi  para netizen yang bertanggung jawab. Dan… jika netizen yang teroris, yang piktor, yang tidak bertanggung jawab, adalah sebanding dengan bajingan, maka netizen yang berdedikasi dan penuh tanggung jawab boleh kita tahbiskan menjadi pahlawan. 


***Penulis adalah mahasiswa Jurusan Akidah Filsafat Ushuluddin IAIN Raden Fatah Palembang  



3 komentar:

dianseptia mengatakan...

sangat menyukai tulisan di atas..
gimana cara vote nya?

jhondawam mengatakan...

waduh siip bos,pembentukan karakter dan pandangan melalaui media internet sungguh dahsyat,bersyukur kita sudah didasari dengan ilmu agama sebagai saringan dalam berbagai menu pilihan nafsu yang mengiurkan, mbok yao pemerintah mensosalisasikan pengunaan internet yang peace, love, unity and respect, mendiknas yang berkepentingan memberikan pendidikan kepada setiap siswa, gimana caranya mejadi netizen yang berkarakter positif, menkoinfo sebagai polisi lalu lintas yang resmi tolong dong blokir situs yang membuat karakter yang membuat karakter negatif.mari kita buat gerakan netizen yang berkarakter positif agar Indonesia lebih baik

dianseptia mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 11

Posting Komentar