Dua wajah jejaring sosial

oleh Fuad Hasan


“Siang malam ku selalu menatap layar terpaku, aku online... online.. aku online.. online,”. Pernahkah anda mendengarkan kutipan lirik tersebut? Itu adalah syair lagu “Online” yang dinyanyikan Saykoji, yang bercerita ketergantungan anak muda sekarang dengan dunia maya.

Korban teknologi, begitulah orang menyebut anak muda jaman sekarang. Hampir semua remaja di Indonesia mempunyai akun-akun jejaring sosial. Entah itu di friendster, facebook, myspace, twitter hingga yang terbaru, google+. Jejaring sosial pun mulai merasuki gaya hidup dewasa ini.

          
Ketika membuka laptop, pertama kali dilakukan adalah membuka aplikasi browser atau sejenisnya. Kemudian mengetik huruf  “F” yang berarti facebook pada papan ketik kemudian enter. Itulah sedikit gambaran ketika anak muda yang duduk bersila sambil memangku laptopnya dengan koneksi internet dari modem yang cepat.
           
Fenomena ini tidak asing lagi mengingat karakter anak muda yang dinamis, rasa ingin tahu yang tinggi dan bersifat kekinian. Gaya hidup pun tidak bisa lepas dari gadget. Bangun pagi hal yang pertama dilakukan adalah mengambil telepon selular atau membuka laptop untuk sekedar memperbaharui status di facebook.
           
Tren terus berkembang, interaksi sosial pun kini berkurang. Tergantikan dengan adanya jejaring sosial. Untuk mengucapkan ulang tahun, seseorang hanya perlu membuka facebook. Lalu, mengirim wall  kepada teman yang sedang berulang tahun.  
           
Dari sekitar 240 juta jumlah penduduk Indonesia, sekitar 30% diantaranya atau 62 juta adalah remaja berusia 10-24 tahun. Jumlah yang cukup signifikan ini merupakan latar belakang mengapa fenomena-fenomena sosial yang bermunculan di masyarakat biasanya berasal dari atau seputar kalangan remaja.
           
Remaja merupakan masa menjelang dewasa dimana masa ini merupakan peralihan dari seorang anak menjadi dewasa muda. Masa remaja ini secara fisiologis ditandai dengan timbulnya pubertas dan perubahan-perubahan biologis dan sifat. Masa peralihan yang ditandai dengan berbagai perubahan ini menimbulkan suatu perasaan ketidakpastian (uncertainty) dalam diri remaja (Kosasih, 2004. h.31).
           
Fenomena sosial remaja dalam dunia maya pun menarik untuk diikuti. Salah seorang teman saya berniat menutup akun facebook-nya dan berpindah ke twitter. “Banyak orang alay,” katanya. Ya, sebutan “alay” menjadi fenomena tersendiri di dunia maya.
           
Cirinya, tulisan yang dirangkai dengan huruf kapital dan dikombinasi dengan angka membuat tulisan tersebut sulit dibaca. “iCh,,, kAmu qoq g1tu s!cH yAnK??? aqUwh k4nG3n beUdt loCh…” anda mengerti apa yang maksud tulisan itu? Maksudnya adalah “ih, kamu kok gitu sayang, aku kangen banget lho...”. Entah apa maksudnya membuat tulisan seperti itu,tentunya tulisan dengan gaya seperti ini membuat teman saya berpindah ke jejaring sosial lain, twitter.
           
Kicauan twitter menjadi unggulan. Percakapan dalam Twitter hanya dibatasi sebanyak 140 karakter. Hal ini mendorong para pengguna untuk menyampaikan pesannya secara straight to the point – tanpa basa-basi. Jadinya, ketika seorang remaja menyampaikan perasaan maupun pengalaman pribadinya, mereka cenderung lebih tertutup dan kurang blak-blakan ketimbang bagaimana mereka melakukannya dulu di Facebook.
           
Berbekal 140 karakter, Twitter membentuk karakter remaja online yang lebih individualis dan lebih hemat dalam menyampaikan pendapat. Bagi sebagian, kebiasaan menyampaikan pendapat dalam kalimat singkat dianggap sebagai perilaku yang keren.
Dari anak muda hingga politisi ikut berkicau dalam laman microblogging ini.
           
Peran anak muda? Jangan salah, hampir 41% pengguna internet berusia 18-24 tahun. Ada kecenderungan pemanfaatan jejaring sosial untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesamanya. Tidak sampai di situ, banyak gerakan/aksi yang dilakukan anak muda dalam laman ini.
           
Tidak dipungkiri, fungsi jejaring sosial adalah untuk menggalang suatu aksi/dukungan terhadap suatu kasus.  Masih ingat dengan peristiwa ledakan Hotel Ritz Carlton dan JW Marriot? Ingatkah anda dengan tagar #IndonesiaUnite ? tren percakapan orang dengan tagar #IndonesiaUnite yang bertahan selama 3 hari di  trending topic worldwide.
           
Berawal dari percakapan orang di dunia maya tentang ledakan bom di Jakarta membuat ledakan linimasa di twitter. Setiap orang menatap linimasa untuk mendapatkan kabar terbaru dari peristiwa itu dan meneruskan informasi tersebut sembari mengunggah foto-foto korban luka yang tidak pantas untuk dilihat. Linimasa berisi teror ketakutan, teror dalam 140 karakter.
           
Ada yang meneror, ada pula yang mencoba mengajak untuk tidak menyebarkan ketakutan. Linimasa berubah, dan mempunyai satu kesamaan dengan tagar #IndonesiaUnite. Tujuannya adalah “merebut” posisi pertama  Trending Topics dari “Jakarta bombings” menjadi “#IndonesiaUnite”.
           
Ketika berhasil menjadi  trending topic. Pengguna twitter sedunia akan melihat dan ketika mereka klik #IndonesiaUnite berisi percakapan orang-orang se-Indonesia yang meneriakkan Indonesia tidak runtuh terhadap usaha teroris. Indonesia adalah negara besar yang bangga. Indonesia merupakan negara yang masih sangat tepat untuk dikunjungi.
           
Tagar #IndonesiaUnite mayoritas ditulis dengan bahasa Inggris. Tujuannya jelas, karena kita semua ingin percakapan kita dibaca di belahan dunia lain. Bangsa Indonesia berhasil. Selama 3 hari berturut-turut, #IndonesiaUnite menjadi tren percakapan dunia. Semua terikat dalam semangat nasionalisme.
           
Hasil percakapan tersebut dibaca oleh seorang pembaca berita dari CNN (Cable News Network). Setelah itu, IndonesiaUnite masuk koran dari Singapura sampai Australia. Justru setelah kantor berita asing, TV dan koran dalam negeri mulai tertarik dengan IndonesiaUnite.
           
Bagai dua sisi mata uang, Ada efek positif, ada pula efek negatifnya. Tinggal bagaimana pengguna jejaring sosial memanfaatkan dan mengelola kebutuhannya terhadap jejaring sosial ini. Efek negatif yang patut diwaspadai bagi remaja.  Sebab tidak dapat diingkari jejaring sosial sudah menjadi candu ke dalam kehidupan sehari-hari remaja zaman sekarang. Bila  internet  digunakan tanpa control yang baik, maka akan menyebabkan tingginya resiko untuk menjadi ketergantungan (addiction).
           
Lingkungan sosial yang ada di sekeliling remaja berupa lingkungan sosial yang “virtual” dan tidak pada kenyataannya, maka perkembangan emosi remaja juga cenderung tidak kuat karena umpan  balik dari lingkungan virtual dapat diatur sesuai kehendak individu sedangkan umpan balik dari lingkungan nyata belum tentu sesuai dengan kehendak individu. Sehingga individu harus mengembangkan keterampilan sosial dan emosi untuk mengatasinya.
           
Penurunan sensitifitas, menurunnya tingkat simpati dan empati seseorang terhadap dunia nyata. Dengan jejaring sosial, seseorang cenderung melupakan dunia nyata dan tenggelam didalam dunia maya. Merenggangkan dan mengabaikan sesuatu yang terjadi disekitarnya dan lebih memilih untuk memperhatikan sesuatu yang terjadi di dunia maya.
           
Tidak hanya itu, Susan Willard dari University of Oregon mengungkapkan Interaksi melalui  internet dapat dilakukan secara anonim atau dengan memalsukan identitas.  Hal ini menyebabkan individu dapat menghindar dari hukuman atau tanggungjawab atas suatu perilaku yang dilakukannya. Contohnya, banyak sekali akun anonim di twitter yang tidak jelas siapa pemiliknya.  Kicauannya belum bisa dipertanggungjawabkan.
           
Kuncinya untuk menyeimbangkan efek positif dan negatif yang terdapat dalam jejaring sosial adalah komunikasi yang efektif antara orangtua dan remaja serta adanya bimbingan yang tepat. Jika  orang tua  mengizinkan  remaja    untuk memaksimalkan manfaat internet sambil meminimalkan sisi negatif dari internet. 
           
Para remaja berhak mendapatkan  yang terbaik  dari  apa yang ditawarkan oleh  internet, namun  orangtua harus strategis dalam membimbing remaja untuk menggunakan internet dalam meningkatkan pengalaman belajar dan menghasilkan efek yang positif.
           
Internet ada untuk membantu kehidupan manusia. Meningkatkan kewaspadaan terhadap dampak yang ditimbulkan nampaknya lebih bijak. Daripada menolak pembaruan yang terjadi.  Ini adalah era jejaring sosial!




***Penulis adalah mahasiswa Univeristas Jenderal Soedirman Puwokerto 

7 komentar:

by.. :) mengatakan...

#bigIYND I VOTE FOR ESSAY NO 6

dianseptia mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 6

OTOYZ mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 6

Anonim mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 6

"Karya Kita" mengatakan...

#bigIYND I VOTE FOR ESSAY NO 6

Standy Christianto mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 6

InyongLani mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 6

Posting Komentar