Zeitgeist itu Bernama Media Sosial

oleh Wisnu Prasetyo Utomo

Mark Zuckerberg barangkali tidak pernah mengira bahwa Facebook yang ia ciptakan akhir tahun 2003  akan mengubah total wajah hubungan sosial manusia. Apa yang ia lakukan pada mulanya hanya merupakan ekspresi kekecewaan terhadap lingkungan di sekitarnya. Mark adalah mahasiswa di Universitas Harvard yang anti-sosial, jarang bergaul dengan banyak orang, dan lebih sibuk menghabiskan waktu berjam-jam di depan komputernya. Sifat egosentrisme ini bahkan membuat sang pacar meninggalkannya.


Kegalauan Mark ternyata ia terjemahkan dalam cara yang luar biasa. Dampaknya tidak main-main. Facebook menjadi pondasi perubahan besar-besaran dalam hubungan antar manusia. Tidak hanya itu, Facebook dan media sosial lain seperti Twitter, blog, media online interaktif kemudian menjelma alat yang menginisiasi berbagai perubahan sosial politik di dunia. Sekadar mengambil contoh berbagai revolusi yang digalang media sosial; Orange revolution tahun 2004 di Ukraina, Revolusi Moldova 2009, Pergolakan pasca pemilu di Iran 2010, sampai revolusi di Mesir dan beberapa negara di Timur Tengah 2011.

Berbagai aksi sosial pun seringkali menggunakan media sosial sebagai perantaranya. Di Indonesia saja misalnya, solidaritas sosial secara langsung mampu dilakukan dengan menggunakan media sosial. Ini bisa kita lihat dalam beberapa bencana yang terjadi di tanah air, salah satunya ketika peristiwa erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta pada tahun 2010. Ketika masyarakat yang menjadi korban bencana membutuhkan pertolongan cepat, bantuan dari pemerintah terhalang rumitnya birokrasi mereka sendiri. Beruntung ada elemen masyarakat sipil yang dengan cepat membentuk komunitas Jalin Merapi (Jaringan Informasi Lintas Merapi).

Komunitas ini beranggotakan para sukarelawan yang bertindak dengan cepat untuk membantu korban. Dengan melakukan konvergensi berbagai media sosial seperti facebook, twitter, dan radio, penyaluran bantuan dapat dipercepat. Bahkan lebih cepat dari bantuan yang diberikan pemerintah. Sebagai contoh, penulis pernah menyaksikan betapa hanya dibutuhkan tidak lebih dari satu jam untuk mendapatkan beratus-ratus nasi bungkus yang sangat dibutuhkan para penyintas. Komunitas ini memang aktif mencari bantuan dengan cara menulis status di akun facebook, men-tweet sebuah berita, serta mengabarkan perkembangan terbaru melalui radio dan situs merapi.combine.or.id.

Jika kita perhatikan, penggunaan media sosial ini memiliki peran yang sangat penting dalam berbagai peristiwa sosial politik di banyak negara. Sekalipun demikian, kita tidak serta merta dapat mengatakan bahwa media sosial memiliki dampak positif yang besar. Ada beberapa hal yang patut menjadi bahan pertimbangkan mengenai posisi media sosial dalam masyarakat modern. Terutama dalam hubungannya dengan anak-anak muda. Apalagi anak-anak muda merupakan pengakses media sosial paling banyak jika dibandingkan dengan usia yang lain. Di Indonesia, setidaknya lebih dari 64 % anak-anak mudanya memiliki media sosial. [i]

Lebih dari yang pernah dibayangkan, media sosial menjelma zeitgeist atau semangat zaman generasi muda saat ini. Ia telah berubah menjadi sistem sosial itu sendiri, tidak sekadar alat komunikasi. Selanjutnya media sosial berttransformasi sebagai  gaya hidup anak muda, social media lifestyle. Kita saksikan, tidak sedikit anak-anak muda yang kehidupannya dipengaruhi oleh media sosial. Begitu mudahnya akses terhadap internet membuat pengaruh media sosial bisa dirasakan sejak bangun tidur, sampai tidur lagi. Barangkali kita sendiri menjadi bagian yang merasakan hal tersebut.

Media sosial adalah faktor determinan dalam relasi antarindividu, bahkan relasi antarkelompok. Barangkali di titik ini kita harus mengamini nujum Marshal McLuhan sekitar 50 tahun yang lalu mengenai determinisme teknologi. Media sosial telah membentuk bagaimana kita berkomunikasi, berinteraksi, dan menjalani kehidupan. Efeknya tentu luar biasa karena kemudian media sosial akan menentukan struktur kesadaran anak-anak muda saat ini.

Persoalannya menjadi tidak sederhana karena ada migrasi paradigmatik yang menjadi konsekuensi logis di baliknya. Yasraf Amir Pilliang menjelaskan migrasi paradigmatik ini berada pada tiga level.[ii] Pertama, kegalauan identitas pada level individu. Media sosial bisa membuat seorang individu memiliki banyak identitas. Ia bisa menjadi diri yang lain, diri yang banyak, dengan berbagai identitas yang berbeda-beda ketika memasuki wilayah maya. Banyak identitas memiliki makna yang sama dengan kehilangan identitas.  

Contoh sederhana, setiap individu bisa memiliki lebih dari satu akun Facebook maupun Twitter. Ia bisa mengubah apapun sesuai keinginannya. Ketika di dunia nyata seorang individu adalah sosok yang anti sosial, di media sosial ia bisa malih rupa menjadi sosok yang sangat aktif melakukan hubungan sosial. Mark Zuckerberg, sang pendiri Facebook, adalah contoh yang paling gamblang.

Kedua, perubahan terjadi di level interaksi antarindividu. Selama ini, interaksi antarindividu sering dimaknai sebagai interaksi fisik, terutama ketika Teknologi Informasi Komunikasi belum berkembang pesat. Namun, dunia setelah kedatangan media sosial adalah dunia yang memiliki platform deteritorialisasi sosial. Deteritorialisasi sosial menjelaskan bahwa interaksi ini kemudian membuat interaksi menjadi hanya semacam halusinasi. Halusinasi ini membuat kita bisa lebih dekat dengan orang yang jaraknya ratusan kilometer dibandingkan dengan tetangga yang dekat dengan kita secara fisik.

Ketiga, Yasraf menjelaskan bahwa perubahan juga akan terjadi dalam level komunitas. Pada level ini, media sosial membentuk komunitas imajiner. Komunitas ini tidak hadir dalam bentuk fisik dan tidak ada tempatnya yang secara fisik ada. Tempat yang ada dalam komunitas imajiner adalah tempat yang dibayangkan atau diimajinasikan. Misalnya saja, tempat ini hadir dalam bentuk group di Facebook, atau di milis, dan forum diskusi maya lainnya. Karena berupa tempat yang diimajinasikan, tidak ada aturan main yang benar-benar bisa mengontrol perilaku individu. Dengan kata lain, media sosial sepenuhnya bersifat anarkis karena setiap tindakan seolah “dibenarkan”.

Migrasi paradigmatik inilah yang cukup berbahaya apabila anak-anak muda saat ini tidak mampu membaca konteks keberadaan media sosial. Dalam berbagai pergolakan sosial politik seperti dicontohkan di awal, media sosial hanya menjadi katalisator. Artinya ia tidak menjadi faktor utama. Faktor utama berbagai perubahan tersebut muncul dalam bentuk diskriminasi, kemiskinan, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan lain sebagainya yang dialami oleh warga negara. Tepat di titik ini, media sosial sebagai konsekuensi dari perkembangan teknologi komunikasi bertemu dengan misi kemanusiaan.

Sebuah misi kemanusiaan, mensyaratkan adanya sebuah hubungan yang didasarkan pada perasaan emosional yang sama. Perasaan ini hanya dapat ditumbuhkan dengan cara berinteraksi langsung secara fisik, bertegur sapa, termasuk juga melakukan aktivitas bersama. Sebagai contoh dalam aksi-aksi sosial, tentu saja terlebih dahulu kita harus bisa memahami latar belakang sosiologis-psikologis masyarakat. Caranya, dengan turun langsung ke bawah dan mempelajari berbagai persoalan yang ada.

Dengan ini, pengalaman kolektif akan dirasakan. Ketika pengalaman kolektif sudah ada, simpati dan empati pun akan mengalir dengan sendirinya saat muncul berbagai persoalan.  Berbeda ketika hubungan hanya dimediasi oleh media sosial. Kita tidak akan pernah bisa merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Inilah yang harus menjadi perhatian kita bersama.

Kalau anak-anak muda yang tumbuh bersama media sosial ini gagal memahami bahwa media sosial hanya katalisator, saya takut, kehidupan sosial hanya dimaknai sebagai kehidupan dalam dunia maya. Akar persoalan di masyarakat yang sebenarnya tidak pernah terselesaikan. Media sosial hanya digunakan untuk perayaan-perayaan semata. Anak-anak muda dalam generasi media sosial ini kemudian cenderung menjadi konformis, jinak, mencari jalan aman, nyaman, dan merasa sudah melakukan sebuah perubahan. Semoga tidak.

Catatan Akhir



[i] http://www.jurnas.com/news/34328 diakses pada 6 Oktober 2011 pukul 09.34 WIB
[ii] Amir Piliang, Yasraf.Cyberspace dan Perubahan Sosial dalam Jurnal Balairung edisi 38 tahun 2005 halaman 7-13


***Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Gajah Mada 

1 komentar:

push2 mengatakan...

#big20IYND I VOTE FOR ESSAY NO 20

Posting Komentar